Update Stok Terbaru

Peringatan Bulan Bahasa di SMA 1 Kuta Utara


SMA 1 Kuta Utara, Badung menggelar peringatan Bulan Bahasa, Sabtu (21/11) kemarin di sekolah setempat. Meskipun terbilang terlambat, peringatan yang sepenuhnya merupakan inisiatif OSIS SMA 1 Kuta Utara itu berlangsung meriah dan penuh iklim kompetitif antarsiswa.
Ketua Panitia, Ni Luh Putu Miraheni menjelaskan peringatan Bulan Bahasa 2009 diisi dengan lima jenis lomba yakni lomba musik kontemporer, cerdas  cermat sosial dan budaya, deklamasi puisi, story telling serta dharma wacana.
Menurut Miraheni, peringatan Bulan Bahasa sudah menjadi agenda rutin OSIS SMA 1 Kuta Utara. Peringatan ini dimaksudkan untuk menjalin kebersamaan antarpengurus OSIS dan siswa, pengembangan potensi siswa, mengembangkan rasa kekeluargaan di antara civitas sekolah serta mempertebal kebanggaan siswa terhadap bahasa, bangsa dan Tanah Air Indonesia.
“Selama ini kita kan dicap miring bahwa generasi muda itu tak bangga berbahasa Indonesia, kita dikatakan perusak bahasa Indonesia. Padahal, tidak semua begitu,” kata Miraheni.
Hal senada juga diungkapkan Kepala SMA 1 Kuta, Drs. I Made Kerta, M.Pd. Menurutnya, rasa bangga siswa terhadap bahasa Indonesia memang menunjukkan penurunan. Namun, tidak semuanya seperti itu. Banyak juga anak-anak muda yang memiliki kemampua berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
“Hanya memang, mereka harus selalu diingatkan sejarah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ini prestasi terpenting bangsa kita. Tidak semua bangsa, tidak semua Negara memiliki bahasa persatuan.Mereka mungkin memiliki bahasa resmi, tetapi belum tentu memiliki bahasa persatuan. Jadi kita harus bangga dengan bahasa Indonesia,” kata Kerta yang juga guru bahasa dan sastra Indonesia ini.
Selaku kepala sekolah, Kerta mendukung penuh adanya inisiatif siswa menggelar peringatan Bulan Bahasa. Menurut Kerta, pendidikan memang bukan hanya menumbuhkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif menyangkut aspek etika, moral dan sikap cultural.
SMA 1 Kuta Utara merupakan sekolah unggulan di Badung yang kini menjadi rintisan sekolah berstandard internasional. Prestasi sekolah ini berlimpah, baik di tingkat kabupaten, provinsi bahkan di tingkat nasional. (jay)

Mengintip Usaha Penyewaan Buku di Kota Denpasar

Laporan I Made Sujaya

BANYAK yang menyebut minat baca masyarakat Bali masih rendah. Memang, satu dasa warsa terakhir mulai terlihat pertumbuhan. Namun, jika dilihat perbandingan antara produksi, penjualan buku serta tingkat kedatangan orang Bali ke perpustakaan dengan jumlah penduduk Bali, tetap saja minat baca orang Bali masih terbilang rendah. Namun belakangan, tempat-tempat penyewaan buku atau taman bacaan di Kota Denpasar semakin bertambah. Namun, serbuan play station serta mudahnya mengakses sumber bacaan di internet menjadi tantangan bagi usaha jasa ini. Sampai kapan usaha ini bisa bertahan? Adakah nasibnya akan sama dengan usaha serupa di kota lain yang banyak gulung tikar seperti Yogya?

MEMANG, tak ada data yang pasti berapa sesungguhnya jumlah usaha penyewaan buku di Kota Denpasar. Namun, jika dibandingkan dengan tahun 1980-an silam, tentu jumlah usaha penyewaan buku di Denpasar saat ini sudah kian bertumbuh.

Era tahun 1985-an, pecinta komik Ko Ping Ho di kawasan Sanglah, Panjer, Sidakarya dan sekitarnya tentu ingat dengan Taman Bacaan Prasthiwi di bilangan Jalan Watureonggong, Denpasar. Taman bacaan yang dikelola Selamet Asmoro ini masuk jajaran tempat penyewaan buku generasi lawas di Denpasar. Hingga kini, Taman Bacaan Prasthiwi masih bertahan. Bahkan, sudah sampai membuka cabang di kawasan Monang-Maning, Denpasar dengan nama Prima.

“Komik-komik Ko Ping Ho di sini (Prasthiwi) kini ditaruh di Prima, karena di sini tak muat lagi,” tutur Ahmad, sang penjaga Taman Bacaan Prasthiwi.

Taman Bacaan Prima di Monang-maning juga lumayan ramai dengan pengunjung. Yang membuat Prima banyak dicari pecinta komik dan novel karena koleksinya relatif baru, selain komik dan novel lama.

Selain Prasthiwi, penyewaan buku Bromo Hasri yang pernah dibuka di Jalan Surapati kini pindah ke Jalan Kamboja, depan SMA 1 Denpasar. Bromo Hasri juga sudah berkembang lagi dengan membuka cabang di Jalan Teuku Umar, sebelah barat Simpang Enam.

Aris, penjaga Bromo Hasri di Jalan Kamboja menuturkan tingkat kunjungan ke tempatnya cukup baik. “Rata-rata sekitar 80 orang per hari. Kalau lagi ramai, bisa di atas 200 orang,” kata Aris.

Di Bromo Hasri cabang Teuku Umar, pengunjungnya lebih sedikit. Pada hari-hari biasa, jumlah pengunjung sekitar 50-60 orang. “Kalau ramai antara 90-100 orang. Bahkan, kalau liburan bisa lebih dari itu,” kata Rizal yang dipercaya mengelola Bromo Hasri Teuku Umar.

Sementara di Prasthiwi, menurut pengakuan Ahmad, saban hari lebih dari 60 orang datang meminjam komik atau novel. Kalau musim liburan, jumlah pengunjung bisa mencapai 200 orang.

“Yang pasti Prasthiwi memiliki anggota hingga lebih dari 9.000 orang. Yang aktif mungkin sekitar 500 orang,” kata Ahmad.

Kebanyakan, yang datang menyewa buku ke taman bacaan adalah perempuan. Maklum, minat baca kaum hawa memang relatif lebih baik daripada kaum adam. Kendati begitu, pengelola tetap menghadirkan koleksi komik dan novel khusus laki-laki selain komik dan novel untuk perempuan. “Banyak juga cowok yang suka pinjam komik,” kata Amel, penjaga Taman Bacaan Prima.

Harga sewa buku di tempat-tempat penyewaan buku di Denpasar cukup beragam, tergantung jenis bukunya. Buku-buku komik lama biasanya disewakan dengan harga Rp 1.000-Rp 2.000 per komik dengan waktu pinjam rata-rata 2-3 hari. Sementara komik baru disewakan dengan harga Rp 2.500 per komik per hari.

“Kalau komik baru memang lebih mahal dan waktu sewanya juga pendek karena komik baru itu banyak dicari orang,” tutur Rizal.

Sementara harga sewa buku novel lebih mahal, tetapi tidak sama harga sewa satu novel dan novel yang lain. Novel Harry Potter edisi 1-6 misalnya, harga sewanya Rp. 25.000 untuk lima hari. Sementara edisi ketujuh, edisi terbaru harga sewanya lebih mahal menjadi Rp 70.000 per lima hari.

Namun, kebanyakan orang menyewa buku komik tinimbang buku novel. Karena itu, koleksi yang dimiliki pun didominasi buku komik. Namun, komik yang banyak dicari pun bukanlah komik produk dalam negeri, melainkan komik-komik Jepang serta Korea.

Biasanya, komik-komik yang disewakan adalah komik serial. Komik serial yang banyak dicari, serial Naruto dan Onepiece. Ada juga yang menyukai komik Doraemon serta Fight Ippo.

Kuncinya Koleksi Terbaru dan Lengkap

Namun, tak semua tempat penyewaan buku yang bisa bertahan. Beberapa tempat penyewaan buku juga ada yang tutup. Ada juga yang bertahan, meskipun ditinggal pelanggannya. Pengelola biasanya akan mengombinasikan usahanya dengan penjualan majalah, koran atau menjual makanan dan minuman.

Salah satu usaha penyewaan buku komik di Monang-maning yang sudah beroperasi sejak tahun 80-an, kini mulai ditinggal pelanggannya. Sang penjaga yang enggan namanya disebut di koran menuturkan jumlah pengunjung di tempatnya sudah jauh menyusut. “Kadang-kadang ada, kadang-kadang tak ada sama sekali,” ujarnya.

Penyebab menyusutnya jumlah pengunjung, menurutnya, karena koleksi komik yang dimiliki sudah tak ada yang baru lagi. Akhirnya, para pelanggannya memilih mencari tempat penyewaan buku lain yang koleksinya lebih lengkap.

“Karena penyewaan komiknya sepi, maka bos menjual koran dan majalah, agar tetap bisa berjalan,” kata sang penjaga.

Memang, kelengkapan dan kebaruan koleksi menjadi kata kunci bagi suksesnya usaha penyewaan komik. Kalau sekali dua kali ada pelanggan yang mencari salah satu judul komik dan tak ditemukan, maka usaha penyewaan buku itu akan ditinggal.

Para pengelola usaha penyewaan buku biasanya akan berupaya untuk menghadirkan koleksi-koleksi terbaru di tempatnya. Ada yang menjalin kerja sama dengan toko buku, ada juga yang langsung berhubungan dengan penerbit sehingga bisa mendapat harga yang lebih murah.

Bersaing dengan PS dan Internet

Mau tak mau usaha penyewaan buku yang ada di Denpasar memang harus berjuang untuk bisa bertahan. Memang, minat baca masyarakat Bali sudah bertumbuh. Namun, tetap saja minat baca masyarakat Bali masih dianggap rendah.

Selain itu, usaha jasa penyewaan buku juga harus bersaing dengan kian maraknya tempat penyewaan play station serta internet yang memudahkan akses orang untuk mendapatkan bacaan.

Tantangan ini diakui Ahmad. Bahkan, Ahmad secara jujur mengakui jumlah pengunjung belakangan relative turun jika dibandingkan sebelumnya. Penyebabnya, orang sudah lebih mudahy mengakses buku di internet.

“Naruto edisi terbaru misalnya sudah lebih dulu didapat di internet. Kita kan belakangan baru bisa memajangnya,” kata Ahmad.

Selain itu, kian bertambahnya tempat usaha penyewaan buku di Denpasar juga menyebabkan persaingan menjadi lebih ketat. Tempat-tempat penyewaan buku yang koleksinya terbatas akan segera ditinggal pelanggannya.

Di Yogyakarta, usaha penyewaan buku memang cukup banyak jumlahnya. Namun, banyak pula yang terpaksa gulung tikar karena tak mampu bersaing. Yang diajak bersaing bukan saja sesame tempat penyewaan buku, tetapi juga play station dan internet.

Karena itu, tak berlebihan jika Gde Aryantha Soethama, seorang pecinta buku yang pernah mengelola usaha penyewaan buku di era tahun 1985 agak pesimis dengan kehidupan tempat penyewaan buku ini. Menurutnya, bertumbuhnya usaha penyewaan buku di Denpasar lebih dilandasi niat coba-coba karena di Denpasar usaha serupa belum banyak seperti di Yogyakarta.


Berjuang Sendiri Menerbitkan Buku

Laporan I Made Sujaya
SEJUMLAH penulis atau pun intelektual di Bali belakangan menerbitkan sendiri karya tulisnya menjadi buku. Minimnya penerbit buku di Bali merupakan salah satu penyebab munculnya penerbitan buku secara swadaya itu. Ada usulan pembentukan sekaa arisan bikin buku.
Pengarang sekaligus pemilik percetakan, Gde Aryantha Soethama punya penilaian menarik soal perilaku orang Bali dalam pengadaan penggandaan teks. Menurutnya, orang Bali banyak yang menulis lontar atas keinginan sendiri. Kebanyakan mereka hanya menulis karyanya itu hanya satu lontar. Umumnya orang Bali dikenal “malas” memperbanyak lontar. Padahal isinya kemudian diketahui luar biasa, amat penting dan bermanfaat.


“Keengganan leluhur Bali menggandakan karya-karya cemerlang mereka itu ternyata terwariskan hingga kini, tatkala industri perbukuan tumbuh dan berbiak gesit,” ujar Aryantha.
Memang, belakangan cukup banyak ditemukan perilaku pengarang atau intelektual Bali yang menerbitkan sendiri karya-karyanya atas insiatif sendiri, pakai uang sendiri. Umumnya, tiras buku yang diterbitkan hanya puluhan atau ratusan eksemplar.
Apa yang diungkapkan Aryantha tidaklah keliru. Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., misalnya menerbitkan disertasinya menjadi buku dengan biaya sendiri. “Saya habis biaya sekitar Rp 7 juta,” cerita Weda yang menerbitkan buku berjudul, Kakawin Usana Bali Karya Danghyang Nirartha.
Kisah serupa tampaknya juga dialami sejumlah guru besar Unud lainnya seperti Prof. Dr. Dewa Ngurah Suprapta yang menerbitkan buku Pertanian Bali Dipuja Petaniku Merana, Prof. Tjok. Istri Putra Astiti yang meluncurkan buku berjudul Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali serta Prof. I Made Nitis yang baru-baru ini merilis buku berjudul, Peternakan Berwawasan Kebudayaan.
Buku-buku mereka memang diterbitkan oleh penerbit tertentu yang ada di Bali. Akan tetapi, kenyataannya si penulis atau pengarang mesti merogoh koceknya agar bukunya bisa terbit.
“Di Bali memang berbeda dengan Yogya. Kalau di Bali kita menerbitkan buku mesti mengeluarkan uang kepada penerbit, kalau di Yogya malah kita yang dapat duit,” kata I Ngurah Suryawan, mahasiswa Antropologi Unud yang beberapa kali menerbitkan buku-bukunya di Yogya.
Dinamika penerbitan buku di Bali memang kalah jauh ketimbang Yogya atau Bandung. Di Yogya, penggiat industri perbukuan bisa dijumpai di tempat-tempat kos, digerakkan oleh anak-anak muda. Mereka melakoninya sendiri-sendiri atau berkelompok. Banyak buku baru bisa dijumpai, banyak penerbit baru muncul, banyak pula akhirnya gulung tikjar, namun akan segera tumbuh lagi yang baru. Kondisi ini tentu memberikan banyak pengalaman dan manfaat yang bisa dipetik.
Menyiasati kondisi industri perbukuan di Bali yang belum sehangat Yogya itu, Aryantha melontarkan usul menarik: membentuk sekaa arisan bikin buku yang disingkat menjadi Seribu. Menurut dia, orang bali biasanya melakukan kegiatan adat dan keagamaan melalui kelompok. Bali dikenal memiliki dinamika kelompok dalam bentuk sekaa. Banyak program pembangunan menuai sukses besar setelah digarap sekaa dalam dinamika banjar.
“Mengapa penerbitan buku tidak dicoba lewat dinamika sekaa?” tanya Aryantha. 

KLIK 
 
Nama Seribu yang diusulkan Aryantha bukan tanpa pertimbangan. Sekaa ini bakal menerbitkan buku dengan tiras minimal 1.000 eksemplar sekali terbit.
Anggota sekaa, kata dia, jangan terlalu banyakm cukup 5 sampai enam orang. Merekalah yang mengurus mulai dari naskah, pracetak, membawanya ke percetakan hingga pemasaran.
Spesifikasi buku yang hendak diterbitkan disarankan dengan ukuran 14 X 20 cm, kertas HVS 70 gram, sampul art paper 230 gram full color, halaman dibatasi sampai 120 halaman. Dengan spesifikasi buku seperti itu, per eksemplar bisa menelan biaya Rp 6.000. Jika mencetak 1.000 eksemplar tentu menghabiskan biaya Rp 6.000.000.
“Jika satu putaran arisan selama setahun, setiap dua bulan sekali diterbitkan satu judul buku. Untuk itu, uang yang harus dikeluarkan setiap anggota sekaa setiap dua bulan sekali adalah Rp 1.000.000 atau Rp 500.000 setiap bulan,” beber Aryantha.
Lantas, bagaimana jika halaman buku yang dicetak melebihi 120 halaman serta pengarangnya ingin mencetak lebih dari 1.000 eksemplar? Tentu butuh tambahan biaya dan itu mesti ditanggung pengarangnya sendiri. Sekaa hanya membiayai untuk 120 halaman dengan tiras 1.000 eksemplar.
Setelah terbit, buku pun dijual. Dengan tebal 120 halaman, buku itu bisa layak dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 25.000 per buku. Toko buku biasanya akan meminta bagian 30 persen dari harga buku. Jika harga jual Rp 20.000, pengarang tentu menerima 70 persen = Rp 14.000/ buku. Ini berarti, untuk mencapai titik pulang modal sebesar Rp 6.000.000, buku yang harus laku adalah sekitar 429 eksemplar. Sisanya 571 eksemplar merupakan keuntungan pengarang.
“Jika buku dijual langsung oleh pengarangnya, tidak melalui toko buku, uang yang diterima utuh Rp 20.000/buku. Untuk mencapai pulang modal menjadi lebih cepat, hanya menjual 300 eksemplar buku. Sisanya, 700 eksemplar menjadi keuntungan pengarang,” urai Aryantha.
Jika semuanya berjalan lancar, usulan Aryantha memang menggiurkan. Namun, persoalannya, mungkikah bisa menjual buku 300 atau 429 eksemplar dalam waktu setahun? “Itu tergantung kiat pemasaran pengarang sendiri,” katanya.
Namun, Aryantha juga berharap pemerintah daerah bisa membantu sekaa bikin buku ini. Caranya, pemerintah membeli 300 eksemplar buku yang diterbitkan sekaa untuk disebarkan ke perpustakaan daerah, sekolah dan lembaga-lembaga lainnya.
Nah, bagaimana? Ada yang berminat?

Menjinakkan "Bom" dengan Nurani

Judul Buku : Sepotong Nurani Kuta: Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002

Penulis : I Made Sujaya
Penerbit : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kuta
Tahun : Oktober 2004
Tebal : xxiv + 200 halaman (termasuk lampiran dan foto-foto tragedi Kuta)
Harga : Rp. 27.000
Buku ini masih bisa didapatkan di TB Gramedia Mall Bali Galeria, Kuta.

SETIAP tanggal 12 Oktober, kita teringat peristiwa bom Bali. Tiap ingat bom Bali, kita terbayang Kuta. Bom Amrozy dkk. meledakkan Kuta, memang. Desa (atau kini menjadi kelurahan) yang menjadi pusat pariwisata Bali. Juga pusat pariwisata Indonesia. Sudah banyak tulisan yang membedah Kuta. Keindahan pantai dan ganas ombaknya, melahirkan berjilid-jilid buku. Juga sun set-nya yang magis itu. Masyarakat Kuta pun sudah banyak ditulis orang.Tapi, bagaimana Kuta kini? Bagaimana masyarakatnya? Siapa masyarakat Kuta sekarang? Seorang wartawan yang tengah berproses menjadi penyair, I Made Sujaya, melukiskan begitu puitis tentang itu.

biar liar benar
tetap setia pada akar
seperti kesetiaan
kecipak ombak
pada kanak-kanak
yang mengajak menari
meniru matahari
mengubah bayangan diri

Sajak berjudul ‘’Kuta’’ itu, ia muat kembali dalam buku yang ditulisnya yang bertitel Sepotong Nurani Kuta, Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002. Sebuah buku yang diterbitkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kuta. Buku ini diluncurkan 10 Oktober 2004 di Kuta Paradiso Hotel, serangkaian peringatan dua tahun tragedi memilukan itu.
Sejak kapitalis mencengkram Kuta, orang mengira masyarakat Kuta sudah berubah. Bayangkan, sejak 1973, tanah-tanah kosong di pesisir Kuta diborong oleh pemodal-pemodal besar untuk membangun hotel berbintang, restoran dan fasilitas wisata lainnya. Hamparan kebun kelapa, semak-semak hingga danau disulap menjadi hotel-hotel mewah. Dibantu tangan-tangan kekuasaan, waktu itu, pengalihan lahan-lahan di Kuta berlangsung demikian cepat. Hingga 2001, tercatat 68 hotel berbintang, 232 hotel melati dan 75 homestay berdiri di Kuta. Kapitalis pariwisata telah mengubah Kuta. Desa kecil dengan luas wilayah 732 ha itu dipaksa menjadi metropolis. Tapi, benarkah Kuta telah berubah? Benarkah masyarakat ‘’kota wisata’’ itu telah kehilangan jati dirinya? Sujaya pada bait lain puisinya itu menulis:

setiap detik memang pesta
tapi setiap detak
tetap upacara
berputar-putar
dengan bahasa semesta
lena kelana
bukan lupa puja

Sebagai wartawan yang ngepos di Kuta (seperti yang dicantumkan di halaman 181 bukunya), tentu saja Sujaya mencatat tiap detik kehidupan Kuta. Mencatat detak masyarakatnya. Bukan hanya mencatat, ia tentu menggauli dan mendalami karakter masyarakat Kuta. Hasilnya, ia tumpahkan dalam buku ini. Singkatnya, di tengah gemuruh industrialisasi pariwisata, yang serbawah, serbapesta, serbadolar, Kuta masih punya satu hal penting: nurani.
Nurani itulah nilai masyarakat Kuta yang paling mahal. Nurani itu pula yang menyelamatkan Kuta dari ‘kehancuran’ lebih luas begitu bom Amrozy dkk. mengoyakkan Kuta, 12 Oktober 2002 lalu. Sujaya melukiskan dalam bukunya, bagaimana warga Kuta yang Hindu berbaur bersama warga muslim bekerja sama mengevakuasi para korban bom Bali. ‘’Saya terenyuh menyaksikan semua itu,’’ tulisnya. Padahal, di tengah petaka bom itu, isu-isu berseliweran (entah siapa yang menghembuskan), bahwa warga muslim di Kuta akan di-sweeping. Warga Kuta ternyata tak terpancing dengan isu-isu itu.Ya, nurani itu telah menyelamatkan Kuta dan Indonesia dari ‘’bom’’ lanjutan. Nurani itu telah menjinakkan ‘’bom’’ balas dendam, ‘’bom’’ permusuhan serta ‘’bom’ petaka kemanusiaan lainnya, seperti yang terjadi di Ambon atau Sampit. Warga Kuta ternyata punya cara sendiri menjinakkan ‘’bom-bom’’ itu.

di sini masih ada matahati
masih hidup katahati

Buku yang kabarnya akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atas permintaan warga Australia itu, tidak saja memuat catatan sikap warga Kuta terhadap tragedi bom Bali. Buku ini juga dilengkapi sejarah Kuta, dengan segenap riak kehidupan politik, sosial dan ekonomi di tiap zamannya. Disajikan dengan renyah, khas penyair yang wartawan alias wartawan yang penyair. Buku ini juga menyajikan fenomena kosmos menjelang terjadinya bom. Isyarat-isyarat alam yang menyelimuti Bali menjelang petaka.
Sayangnya, ada beberapa hal yang mengganggu dalam buku ini. Seperti dalam lampiran dimuat begitu banyak nama-nama warga Kuta yang masuk dalam panitia upacara pembersihan atau Karya Pemarisudha Karipubhaya. Selain itu, terdapat kesalahan penulisan nama-nama yang menjadi korban bom Bali. Hal yang sangat mengganggu lagi adalah dimuatnya puisi berjudul "Brahmastra" karya I Wayan Suwija di halaman 177.
Selebihnya, buku ini amat penting dibaca. Tidak saja oleh masyarakat Indonesia, tapi juga masyarakat Internasional. Bahwa masyarakat Kuta punya cara menyikapi bencana, yakni dengan nurani. Kuta masih punya matahati. Di sana masih hidup katahati. Sehingga petaka kemanusiaan bisa dijinakkan. (*)
* Yahya Umar (Redaktur DenPost Minggu)

Berguru ke Desa Kuno di Bali

Judul : Perkawinan Terlarang: Pantangan
Berpoligami di Desa-desa Bali Kuno
Penulis : I Made Sujaya
Tebal : 98 halaman
Penerbit : Arti Foundation Denpasar
Tahun : September 2007

JIKA
menelisik lebih jauh tentang perjalanan budaya Bali kini tak terlepas dari sejarah keruntuhan Majapahit yang menyebabkan tersingkirnya orang-orang Hindu Majapahit ke Bali mendesak orang-orang Bali Mula di desa-desa pegunungan. Manusia penghuni desadesa kuno di Bali nyatanya masih eksis hingga kini dengan budaya leluhurnya, walaupun zaman terus berubah.
Hal inilah menarik perhatian Sujaya untuk mengangkat kearifan desa kuno di Bali, yang menyimpan harta karun budaya yang pantas diketahui sebagai cermin bagi desa-desa modern di Bali agar tidak kebabalasan menerima pengaruh luar tanpa filter tradisi yang berfungsi sebagai penguat akar budaya.
Ditulis dengan gaya laporan jurnalistik, buku kedua Sujaya ini (buku pertamanya, Sepotong Nurani Kuta: Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002), mewartakan kepada masyarakat luas bahwa desa-desa kuno di Bali telah memiliki visi jauh ke depan dalam memaknai perkawinan. Dengan mengambil lima sampel desa kuno di Bali Timur (Tenganan Pegringsingan, Penglipuran, Bayung Gede, Bonyoh dan Umbalan), Sujaya menyimpulkan bahwa perkawinan terlarang yang dikukuhkan masyarakat adat tersebut memiliki alasan kuat, yaitu untuk menjaga tradisi warisan leluhur sekaligus melembagakan nilai-nilai moral agama berdasarkan mitos.
Dengan menggali tradisi, Sujaya mengajak pembaca menyelami kearifan desa kuno di Bali, khususnya dalam menentang poligami, yang disebutnya sebagai perkawinan terlarang. Bagi masyarakat Bali Kuno, poligami adalah tabu karena dapat merusak citra desa dan menyebabkan hubungan disharmonis. Oleh karena itulah, warga yang berani melakukan poligami, hak-haknya sebagai krama ngarep (warga utama) hilang dan sebagai bentuk hukuman moral yang bersangkutan ditempatkan di teben (hilir) desa yang disebut Karang Memadu sebagaimana diberlakukan di Desa Pernglipuran, Bangli.
Lain lagi dengan Desa Tenganan Pegringsingan, berpoligami pantang cerai pun dilarang. Hal ini diatur dalam awig-awig (peraturan adat di desa) Desa Tenganan Pegringsingan, yang mengikhtiarkan perkawinan monogami dan endogami. Perkawinan monogami adalah perkawinan yang dilakukan sekali dalam masa hidup, sedangkan perkawinan endogami adalah perkawinan yang dilakukan dengan sesama warga Tenganan Pegringsingan.
Kedua jenis perkawinan ini akan menentukan status seseorang sebagai krama ngarep yang berhak ikut sangkep (rapat) di Bale Agung dalam rangka mengambil keputusan untuk menentukan perjalanan desa ke depan. Dari sinilah, warga Tenganan Pegringsingan tampaknya memaknai perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Kesakralan dan kesucian itu adalah implementasi dari ajaran agama Hindu yang diimani masyarakatnya.
Oleh karena itulah, hukuman sekala-niskala akan diberlakukan bagi krama (warga) desa yang berani melanggar hukum perkawinan yang ditetapkan melalui awig-awig, sebagaimana juga diterapkan di Desa Bayung Gede, Kintamani. Pekarangan desa menjadi tempat yang terlarang bagi mereka yang berpoligami. Perkara poligami juga dilarang di Desa Bonyoh, Kintamani, Bangli. Bahkan, di Bonyoh, pantang bagi warganya kawin dengan warga Umbalan. Hubungan juang-kejuang (saling mengambil istri) ditabukan bagi masyarakat Desa Bonyoh dan Umbalan. Yang melanggar diyakini akan tertimpa bencana.


Pergeseran Nilai
Begitulah, desa-desa kuno di Bali yang disebut Bali Mula atau Bali Aga memegang teguh adat dan tradisinya. Akan tetapi, mereka tidak menutup diri dari kemajuan zaman. Buktinya, desa-desa itu menerima kehadiran wisatawan secara terbuka. Keterbukaan mereka, tidak membuat ternganga dan terlindasnya tradisi yang diyakini. Pergeseran nilai memang terjadi, tetapi akar budayanya masih tetap terjaga. Ibarat sebuah pohon, akarnya tetap, tetapi dahan, ranting, dan daunnyalah yang berubah dan berkembang.
Simpanan harta karun yang melimpah dari desa-desa kuno di Bali itu, bukan saja dalam hal pantangan berpoligami, melainkan juga di desadesa itu emansipasi wanita dilembagakan. Di sana suami-istri mendapat hak yang sama dalam hubungan waris. Berbeda dengan desa-desa lain di Bali, yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal atas hak-hak waris. Oleh karena itulah, Bali modern perlu berguru ke desa-desa kuno di Bali Aga.
Memang harus pula diakui, kehadiran buku Sujaya ini juga masih menyisakan persoalan teknis dari segi tata tulis. Di samping itu, desa yang dijadikan sampel dalam laporan jurnalistik ini masih terbatas pada lima desa. Akan baik sekali, jika buku ini dikembangkan lagi untuk mengorek kearifan desa-desa kuno di Bali Utara dan Bali Barat. Siapa tahu, kekerabatan kultural di antara desa-desa kuno itu merupakan sekuntum bunga padma yang tumbuh mekar di sebuah taman yang bernama Bali.
Di tengah keterbatasan itu, Sujaya telah menawarkan alternatif ke arah pemurnian makna perkawinan, yang digali dari sumur dasar peradaban Bali Mula. Di tengah pemberitaan berbagai media tentang kawin-cerai, perselingkuhan dan keinginan sejumlah tokoh Bali yang berupaya melokalisasi PSK, maka cermin dari Bali Aga ini layak dipajang untuk melihat wajah kita (Bali) hari ini dan yang akan datang.
Oleh karena itu, buku ini layak dijadikan referensi oleh para pemuka adat dan pejabat dalam mengambil keputusan publik di Bali. Selain itu, para pemerhati, peneliti, dan siapa pun yang peduli akan budaya Bali, tampaknya perlu membaca buku ini untuk bekal menangkal Bali dari erosi budaya. (*)
* I Nyoman Tingkat (dikutip dari Bali Post Minggu, 18 November 2007, halaman 12)

Menulis Itu Perjuangan!

Catatan I Made Sujaya
(Kamis, 24 Februari 2011)

BANYAK buku panduan menulis menguraikan bahwa menulis itu gampang. Karena gampang, siapa pun bisa menulis, semua orang bisa menjadi penulis. Aneka tips pun disodorkan kepada mereka yang ingin belajar menulis. Tips-tips itu, konon, membuat orang lebih mudah, lebih praktis bahkan lebih cepat menjadi penulis.
Namun, ada seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama yang mengeluh kepada saya perihal resep menulis yang praktis, mudah dan cepat itu. Sang guru mengaku sudah melahap banyak buku panduan menulis. Dia juga sudah mencoba menerapkan berbagai tips yang ditawarkan. Tapi hasilnya, menulis tetap menjadi hal yang sulit. Jangankan menghasilkan sebuah tulisan yang layak jual, menulis tiga paragraf saja terasa berat sekali.
Mendengar keluhan guru tadi, saya teringat tulisan Putu Wijaya yang dimuat dalam salah satu buku kumpulan esainya. Judul tulisan itu, "Mengarang adalah Berjuang". Putu Wijaya menemukan ungkapan itu manakala dia menyadari menulis memang tidak menjadi perkara gampang bagi semua orang. Tatkala memberi pelatihan menulis bagi guru-guru di Jakarta, Putu Wijaya menemukan realitas yang bertolak belakang dengan ungkapan menulis itu gampang.
Memang, bagi yang sudah terbiasa, menulis bisa sangat gampang. Putu Wijaya misalnya bisa begitu sangat melimpah dengan tulisan. Begitu juga Arswendo Atmowiloto begitu mudahnya melahirkan beratus-ratus tulisan.
Akan tetapi, bagi mereka yang tidak biasa menulis, tentu menjadi sangat berat untuk menghasilkan sebuah karya tulis. Orang bisa berjam-jam duduk di depan komputer tetapi layar tetap putih, kosong.
Saya rasa ungkapan Putu Wijaya bahwa Mengarang (termasuk tentunya Menulis) merupakan sebuah perjuangan. Artinya, seseorang melahirkan sebuah tulisan memang memerlukan perjuangan yang berat, melelahkan dan terkadang butuh waktu yang lama.
Analogi yang lazim dikemukakan para penulis mengenai aktivitas menulis --dan saya kira tepat benar-- orang menulis itu seperti orang melahirkan. Ketika gagasan begitu meledak-ledak, melesak-lesak hendak dilahirkan, mesti melalui sebuah proses yang berat yang membuat orang yang mengeram gagasan itu kesakitan luar biasa. Tapi, begitu gagasan itu tersalurkan lewat tulisan, perasaan pun menjadi plong, lapang kembali. Rasa sakit tak muncul lagi sampai proses melahirkan gagasan kembali terjadi.
Artinya, menulis adalah sebuah proses kreatif, sebuah proses intelektual. Karena itu, tidak ada jalan pintas. Ibarat orang menaiki tangga, mesti rela menapaki satu demi satu tangga itu. Orang tidak mungkin meloncat dari tangga pertama ke tangga sepuluh. Jalan pintas dalam menulis hanya satu: jangan pernah berhenti belajar menulis, jangan pernah berhenti berlatih. Semakin sering berlatih, semakin mudah menulis itu.
Menulis sebagai sebuah perjuangan juga bermakna proses memperjuangkan gagasan, proses mempengaruhi orang. Artinya, menulis harus dilandasi sebuah tujuan intelektual yakni mencerdaskan dan membangunkan kesadaran masyarakat.
Sederhananya, karena menulis adalah perjuangan maka mulailah dengan langkah-langkah kecil. Mulailah menulis hal-hal kecil, hal-hal yang dekat dengan diri kita. Setelah hal-hal kecil itu bisa dikuasai, silahkan mulai mengamati lingkungan sekitar, respons segala fenomena dan dinamika itu dengan tulisan.
Mari berjuang untuk menulis! Karena perjuangan membutuhkan keberanian, maka jangan pernah takut untuk menulis!

Free Templates

Copyright © 2015. Jagad Resensi Allright reserved.