Berguru ke Desa Kuno di Bali

Judul : Perkawinan Terlarang: Pantangan
Berpoligami di Desa-desa Bali Kuno
Penulis : I Made Sujaya
Tebal : 98 halaman
Penerbit : Arti Foundation Denpasar
Tahun : September 2007

JIKA
menelisik lebih jauh tentang perjalanan budaya Bali kini tak terlepas dari sejarah keruntuhan Majapahit yang menyebabkan tersingkirnya orang-orang Hindu Majapahit ke Bali mendesak orang-orang Bali Mula di desa-desa pegunungan. Manusia penghuni desadesa kuno di Bali nyatanya masih eksis hingga kini dengan budaya leluhurnya, walaupun zaman terus berubah.
Hal inilah menarik perhatian Sujaya untuk mengangkat kearifan desa kuno di Bali, yang menyimpan harta karun budaya yang pantas diketahui sebagai cermin bagi desa-desa modern di Bali agar tidak kebabalasan menerima pengaruh luar tanpa filter tradisi yang berfungsi sebagai penguat akar budaya.
Ditulis dengan gaya laporan jurnalistik, buku kedua Sujaya ini (buku pertamanya, Sepotong Nurani Kuta: Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002), mewartakan kepada masyarakat luas bahwa desa-desa kuno di Bali telah memiliki visi jauh ke depan dalam memaknai perkawinan. Dengan mengambil lima sampel desa kuno di Bali Timur (Tenganan Pegringsingan, Penglipuran, Bayung Gede, Bonyoh dan Umbalan), Sujaya menyimpulkan bahwa perkawinan terlarang yang dikukuhkan masyarakat adat tersebut memiliki alasan kuat, yaitu untuk menjaga tradisi warisan leluhur sekaligus melembagakan nilai-nilai moral agama berdasarkan mitos.
Dengan menggali tradisi, Sujaya mengajak pembaca menyelami kearifan desa kuno di Bali, khususnya dalam menentang poligami, yang disebutnya sebagai perkawinan terlarang. Bagi masyarakat Bali Kuno, poligami adalah tabu karena dapat merusak citra desa dan menyebabkan hubungan disharmonis. Oleh karena itulah, warga yang berani melakukan poligami, hak-haknya sebagai krama ngarep (warga utama) hilang dan sebagai bentuk hukuman moral yang bersangkutan ditempatkan di teben (hilir) desa yang disebut Karang Memadu sebagaimana diberlakukan di Desa Pernglipuran, Bangli.
Lain lagi dengan Desa Tenganan Pegringsingan, berpoligami pantang cerai pun dilarang. Hal ini diatur dalam awig-awig (peraturan adat di desa) Desa Tenganan Pegringsingan, yang mengikhtiarkan perkawinan monogami dan endogami. Perkawinan monogami adalah perkawinan yang dilakukan sekali dalam masa hidup, sedangkan perkawinan endogami adalah perkawinan yang dilakukan dengan sesama warga Tenganan Pegringsingan.
Kedua jenis perkawinan ini akan menentukan status seseorang sebagai krama ngarep yang berhak ikut sangkep (rapat) di Bale Agung dalam rangka mengambil keputusan untuk menentukan perjalanan desa ke depan. Dari sinilah, warga Tenganan Pegringsingan tampaknya memaknai perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Kesakralan dan kesucian itu adalah implementasi dari ajaran agama Hindu yang diimani masyarakatnya.
Oleh karena itulah, hukuman sekala-niskala akan diberlakukan bagi krama (warga) desa yang berani melanggar hukum perkawinan yang ditetapkan melalui awig-awig, sebagaimana juga diterapkan di Desa Bayung Gede, Kintamani. Pekarangan desa menjadi tempat yang terlarang bagi mereka yang berpoligami. Perkara poligami juga dilarang di Desa Bonyoh, Kintamani, Bangli. Bahkan, di Bonyoh, pantang bagi warganya kawin dengan warga Umbalan. Hubungan juang-kejuang (saling mengambil istri) ditabukan bagi masyarakat Desa Bonyoh dan Umbalan. Yang melanggar diyakini akan tertimpa bencana.


Pergeseran Nilai
Begitulah, desa-desa kuno di Bali yang disebut Bali Mula atau Bali Aga memegang teguh adat dan tradisinya. Akan tetapi, mereka tidak menutup diri dari kemajuan zaman. Buktinya, desa-desa itu menerima kehadiran wisatawan secara terbuka. Keterbukaan mereka, tidak membuat ternganga dan terlindasnya tradisi yang diyakini. Pergeseran nilai memang terjadi, tetapi akar budayanya masih tetap terjaga. Ibarat sebuah pohon, akarnya tetap, tetapi dahan, ranting, dan daunnyalah yang berubah dan berkembang.
Simpanan harta karun yang melimpah dari desa-desa kuno di Bali itu, bukan saja dalam hal pantangan berpoligami, melainkan juga di desadesa itu emansipasi wanita dilembagakan. Di sana suami-istri mendapat hak yang sama dalam hubungan waris. Berbeda dengan desa-desa lain di Bali, yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal atas hak-hak waris. Oleh karena itulah, Bali modern perlu berguru ke desa-desa kuno di Bali Aga.
Memang harus pula diakui, kehadiran buku Sujaya ini juga masih menyisakan persoalan teknis dari segi tata tulis. Di samping itu, desa yang dijadikan sampel dalam laporan jurnalistik ini masih terbatas pada lima desa. Akan baik sekali, jika buku ini dikembangkan lagi untuk mengorek kearifan desa-desa kuno di Bali Utara dan Bali Barat. Siapa tahu, kekerabatan kultural di antara desa-desa kuno itu merupakan sekuntum bunga padma yang tumbuh mekar di sebuah taman yang bernama Bali.
Di tengah keterbatasan itu, Sujaya telah menawarkan alternatif ke arah pemurnian makna perkawinan, yang digali dari sumur dasar peradaban Bali Mula. Di tengah pemberitaan berbagai media tentang kawin-cerai, perselingkuhan dan keinginan sejumlah tokoh Bali yang berupaya melokalisasi PSK, maka cermin dari Bali Aga ini layak dipajang untuk melihat wajah kita (Bali) hari ini dan yang akan datang.
Oleh karena itu, buku ini layak dijadikan referensi oleh para pemuka adat dan pejabat dalam mengambil keputusan publik di Bali. Selain itu, para pemerhati, peneliti, dan siapa pun yang peduli akan budaya Bali, tampaknya perlu membaca buku ini untuk bekal menangkal Bali dari erosi budaya. (*)
* I Nyoman Tingkat (dikutip dari Bali Post Minggu, 18 November 2007, halaman 12)
5 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Templates

Copyright © 2015. Jagad Resensi Allright reserved.