Menulis Itu Perjuangan!

Catatan I Made Sujaya
(Kamis, 24 Februari 2011)

BANYAK buku panduan menulis menguraikan bahwa menulis itu gampang. Karena gampang, siapa pun bisa menulis, semua orang bisa menjadi penulis. Aneka tips pun disodorkan kepada mereka yang ingin belajar menulis. Tips-tips itu, konon, membuat orang lebih mudah, lebih praktis bahkan lebih cepat menjadi penulis.
Namun, ada seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama yang mengeluh kepada saya perihal resep menulis yang praktis, mudah dan cepat itu. Sang guru mengaku sudah melahap banyak buku panduan menulis. Dia juga sudah mencoba menerapkan berbagai tips yang ditawarkan. Tapi hasilnya, menulis tetap menjadi hal yang sulit. Jangankan menghasilkan sebuah tulisan yang layak jual, menulis tiga paragraf saja terasa berat sekali.
Mendengar keluhan guru tadi, saya teringat tulisan Putu Wijaya yang dimuat dalam salah satu buku kumpulan esainya. Judul tulisan itu, "Mengarang adalah Berjuang". Putu Wijaya menemukan ungkapan itu manakala dia menyadari menulis memang tidak menjadi perkara gampang bagi semua orang. Tatkala memberi pelatihan menulis bagi guru-guru di Jakarta, Putu Wijaya menemukan realitas yang bertolak belakang dengan ungkapan menulis itu gampang.
Memang, bagi yang sudah terbiasa, menulis bisa sangat gampang. Putu Wijaya misalnya bisa begitu sangat melimpah dengan tulisan. Begitu juga Arswendo Atmowiloto begitu mudahnya melahirkan beratus-ratus tulisan.
Akan tetapi, bagi mereka yang tidak biasa menulis, tentu menjadi sangat berat untuk menghasilkan sebuah karya tulis. Orang bisa berjam-jam duduk di depan komputer tetapi layar tetap putih, kosong.
Saya rasa ungkapan Putu Wijaya bahwa Mengarang (termasuk tentunya Menulis) merupakan sebuah perjuangan. Artinya, seseorang melahirkan sebuah tulisan memang memerlukan perjuangan yang berat, melelahkan dan terkadang butuh waktu yang lama.
Analogi yang lazim dikemukakan para penulis mengenai aktivitas menulis --dan saya kira tepat benar-- orang menulis itu seperti orang melahirkan. Ketika gagasan begitu meledak-ledak, melesak-lesak hendak dilahirkan, mesti melalui sebuah proses yang berat yang membuat orang yang mengeram gagasan itu kesakitan luar biasa. Tapi, begitu gagasan itu tersalurkan lewat tulisan, perasaan pun menjadi plong, lapang kembali. Rasa sakit tak muncul lagi sampai proses melahirkan gagasan kembali terjadi.
Artinya, menulis adalah sebuah proses kreatif, sebuah proses intelektual. Karena itu, tidak ada jalan pintas. Ibarat orang menaiki tangga, mesti rela menapaki satu demi satu tangga itu. Orang tidak mungkin meloncat dari tangga pertama ke tangga sepuluh. Jalan pintas dalam menulis hanya satu: jangan pernah berhenti belajar menulis, jangan pernah berhenti berlatih. Semakin sering berlatih, semakin mudah menulis itu.
Menulis sebagai sebuah perjuangan juga bermakna proses memperjuangkan gagasan, proses mempengaruhi orang. Artinya, menulis harus dilandasi sebuah tujuan intelektual yakni mencerdaskan dan membangunkan kesadaran masyarakat.
Sederhananya, karena menulis adalah perjuangan maka mulailah dengan langkah-langkah kecil. Mulailah menulis hal-hal kecil, hal-hal yang dekat dengan diri kita. Setelah hal-hal kecil itu bisa dikuasai, silahkan mulai mengamati lingkungan sekitar, respons segala fenomena dan dinamika itu dengan tulisan.
Mari berjuang untuk menulis! Karena perjuangan membutuhkan keberanian, maka jangan pernah takut untuk menulis!
5 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Templates

Copyright © 2015. Jagad Resensi Allright reserved.