Menjinakkan "Bom" dengan Nurani

Judul Buku : Sepotong Nurani Kuta: Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002

Penulis : I Made Sujaya
Penerbit : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kuta
Tahun : Oktober 2004
Tebal : xxiv + 200 halaman (termasuk lampiran dan foto-foto tragedi Kuta)
Harga : Rp. 27.000
Buku ini masih bisa didapatkan di TB Gramedia Mall Bali Galeria, Kuta.

SETIAP tanggal 12 Oktober, kita teringat peristiwa bom Bali. Tiap ingat bom Bali, kita terbayang Kuta. Bom Amrozy dkk. meledakkan Kuta, memang. Desa (atau kini menjadi kelurahan) yang menjadi pusat pariwisata Bali. Juga pusat pariwisata Indonesia. Sudah banyak tulisan yang membedah Kuta. Keindahan pantai dan ganas ombaknya, melahirkan berjilid-jilid buku. Juga sun set-nya yang magis itu. Masyarakat Kuta pun sudah banyak ditulis orang.Tapi, bagaimana Kuta kini? Bagaimana masyarakatnya? Siapa masyarakat Kuta sekarang? Seorang wartawan yang tengah berproses menjadi penyair, I Made Sujaya, melukiskan begitu puitis tentang itu.

biar liar benar
tetap setia pada akar
seperti kesetiaan
kecipak ombak
pada kanak-kanak
yang mengajak menari
meniru matahari
mengubah bayangan diri

Sajak berjudul ‘’Kuta’’ itu, ia muat kembali dalam buku yang ditulisnya yang bertitel Sepotong Nurani Kuta, Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002. Sebuah buku yang diterbitkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kuta. Buku ini diluncurkan 10 Oktober 2004 di Kuta Paradiso Hotel, serangkaian peringatan dua tahun tragedi memilukan itu.
Sejak kapitalis mencengkram Kuta, orang mengira masyarakat Kuta sudah berubah. Bayangkan, sejak 1973, tanah-tanah kosong di pesisir Kuta diborong oleh pemodal-pemodal besar untuk membangun hotel berbintang, restoran dan fasilitas wisata lainnya. Hamparan kebun kelapa, semak-semak hingga danau disulap menjadi hotel-hotel mewah. Dibantu tangan-tangan kekuasaan, waktu itu, pengalihan lahan-lahan di Kuta berlangsung demikian cepat. Hingga 2001, tercatat 68 hotel berbintang, 232 hotel melati dan 75 homestay berdiri di Kuta. Kapitalis pariwisata telah mengubah Kuta. Desa kecil dengan luas wilayah 732 ha itu dipaksa menjadi metropolis. Tapi, benarkah Kuta telah berubah? Benarkah masyarakat ‘’kota wisata’’ itu telah kehilangan jati dirinya? Sujaya pada bait lain puisinya itu menulis:

setiap detik memang pesta
tapi setiap detak
tetap upacara
berputar-putar
dengan bahasa semesta
lena kelana
bukan lupa puja

Sebagai wartawan yang ngepos di Kuta (seperti yang dicantumkan di halaman 181 bukunya), tentu saja Sujaya mencatat tiap detik kehidupan Kuta. Mencatat detak masyarakatnya. Bukan hanya mencatat, ia tentu menggauli dan mendalami karakter masyarakat Kuta. Hasilnya, ia tumpahkan dalam buku ini. Singkatnya, di tengah gemuruh industrialisasi pariwisata, yang serbawah, serbapesta, serbadolar, Kuta masih punya satu hal penting: nurani.
Nurani itulah nilai masyarakat Kuta yang paling mahal. Nurani itu pula yang menyelamatkan Kuta dari ‘kehancuran’ lebih luas begitu bom Amrozy dkk. mengoyakkan Kuta, 12 Oktober 2002 lalu. Sujaya melukiskan dalam bukunya, bagaimana warga Kuta yang Hindu berbaur bersama warga muslim bekerja sama mengevakuasi para korban bom Bali. ‘’Saya terenyuh menyaksikan semua itu,’’ tulisnya. Padahal, di tengah petaka bom itu, isu-isu berseliweran (entah siapa yang menghembuskan), bahwa warga muslim di Kuta akan di-sweeping. Warga Kuta ternyata tak terpancing dengan isu-isu itu.Ya, nurani itu telah menyelamatkan Kuta dan Indonesia dari ‘’bom’’ lanjutan. Nurani itu telah menjinakkan ‘’bom’’ balas dendam, ‘’bom’’ permusuhan serta ‘’bom’ petaka kemanusiaan lainnya, seperti yang terjadi di Ambon atau Sampit. Warga Kuta ternyata punya cara sendiri menjinakkan ‘’bom-bom’’ itu.

di sini masih ada matahati
masih hidup katahati

Buku yang kabarnya akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atas permintaan warga Australia itu, tidak saja memuat catatan sikap warga Kuta terhadap tragedi bom Bali. Buku ini juga dilengkapi sejarah Kuta, dengan segenap riak kehidupan politik, sosial dan ekonomi di tiap zamannya. Disajikan dengan renyah, khas penyair yang wartawan alias wartawan yang penyair. Buku ini juga menyajikan fenomena kosmos menjelang terjadinya bom. Isyarat-isyarat alam yang menyelimuti Bali menjelang petaka.
Sayangnya, ada beberapa hal yang mengganggu dalam buku ini. Seperti dalam lampiran dimuat begitu banyak nama-nama warga Kuta yang masuk dalam panitia upacara pembersihan atau Karya Pemarisudha Karipubhaya. Selain itu, terdapat kesalahan penulisan nama-nama yang menjadi korban bom Bali. Hal yang sangat mengganggu lagi adalah dimuatnya puisi berjudul "Brahmastra" karya I Wayan Suwija di halaman 177.
Selebihnya, buku ini amat penting dibaca. Tidak saja oleh masyarakat Indonesia, tapi juga masyarakat Internasional. Bahwa masyarakat Kuta punya cara menyikapi bencana, yakni dengan nurani. Kuta masih punya matahati. Di sana masih hidup katahati. Sehingga petaka kemanusiaan bisa dijinakkan. (*)
* Yahya Umar (Redaktur DenPost Minggu)
5 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Templates

Copyright © 2015. Jagad Resensi Allright reserved.